By Siti Untari (Guru kelas 1 Zaid )
Telah bermekaran, mengalir keseluruh aliran darah pada tubuhku. Ini lain, tak seperti yang pernah kurasa sebelumnya. Meski mungkin ianya tetap bernama sama. Cinta! Ia tumbuh pada kelembabab masa. Iyah, lembab karena di sana dapat tumbuh segala rasa baru, menamabah perbendaharaan rasa yang telah ada. Subur!
Bergaya sok-sok romantis, agresif, manja, egois, jutek juga afeksional. Begitu kira-kira, kata mereka. Saperti kata Ust. Salim A. Fillah pada “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan”. Dulu, hampir setiap hari aku bergumul dengan remaja putih abu-abu. Lengkap dengan warna khas mereka. Merah mudanya masa itu tak akan lepas dari kata itu sendiri, remaja. Banyak hal menarik yang meski klasik namun tak lekang oleh waktu. Selalu menarik untuk diperbincangkan.
Banyak rasa yang membersamaiku kala itu. Aku pun turut melebur dalam dunia merah jambu di sana. Membersami merka dengan berbagai celoteh khasnya adalah anugrah indah. Pengalaman luar biasa yang tiada kata dapat melukiskannya.
Saat mereka bercerita sakitnya dikhianati si dia. Saat mereka berseri hanya karena si dia menyapa. Saat si dia yang dipuja ternyata memilih lurus sekolah. Saat mereka berujar tentang mimpi dan cita-cita. Saat mereka berbagi tentang keluarganya. Saat mereka akrab memanggilku bunda.
Saat kita bercengkrama di bawah pohon mangga depan kantor, mendiskusikan sastra. Saat kita berkutat dengan soal-soal try out, bedah SKL (Standar Kelulusan) UN. Saat kita menghabiskan senja bersama pada tepian Kali Mati di belakang sekolah, sambil mendiskusikan mimpi-mimpi ke depan. Saat kita senantiasa menyempatkan waktu untuk berbagi tentang semua. Aku selalu mencoba membuka diri pada mereka. Dua puluh empat jam penuh waktuku untuk melayani mereka (lebay dikitlah.he,,,). Aku ingin mereka menjadi tonggak sejarah kelak. Juga banyak saat-saat berharga bersama mereka.
Kini rasa yang sama mulai bersemi. Kembali mekar atas kata yang sama, cinta. Aku kembali jatuh cinta. Kali ini agak berbeda, tak seperti cinta yang dulu pernah kurasa. Aku masih belum mampu meningat kapan rasa ini mulai menyapa.
Sebuah keharusan membuatku ada di tempat sekarang. Harus? Siapa yang mengharuskan? Hehe,,,ada deh!
Berawal dari tanggugjawab moral atas kata ‘harus’ itulah aku belajar. Mengalir bagai air di sungai berkelok_jika tak mau dikatakan terjal.
Lucu! Itu ajah kesan pertamaku. Semua berasa menggelikan. Menyusul kemudian rasa kaget dan asyik menikmati. Yah kaget-kaget asyik, kataku.
Saat kali pertama mengikuti workshop awal tahun, Waka Kesiswaan menjelaskan. “Hari pertama MOPDIK (Masa Orientasi peserta Didik), khususnya kelas kecil hepi-hepian aja. Nyanyi-nyanyi keliling sekolah, oreintasi lingkungan dan sebagainya”.
What, apa? Nyanyi-nyanyi, yang bener ajah bu! Kalau di kos dulu, temen-temen suka nitip baju buat disetreikain sih, no problemo. Ayuk ajah, aku kerjakan. Itu pekerjaan yang lumayan kusuka_jika gak pantes disebut hoby. Masa hoby nyetrika???
Tapi nyanyi? Dibayarpun aku belum pernah ngebayangin seandainya gede nanti jadi penyanyi, dikerumunin fans apalagi. Waduh,,,makin nggak nyambung nih!
Awal-awal di sini,,,subhanallah, aku begitu banyak disuguhi keterkejutan. Keterkejutan yang membuatku cinta sekarang. Shock-shock kecil yang membuat jantungku berdebar penuh makna. Debaran yang belum pernah kurasa sebelumnya.
Ketika mereka masih nyaman dalam pelukkan bunda, harus direnggut paksa untuk mengikuti “sederet aturan” formal. Tentu saja bukan pilihan manis bagi mereka. Mereka harus berjuang mengenal teman-teman baru juga “orang-orang aneh” yang baru sekali dilihatnya. Orang-orang yang mau dipatuhi tindak tanduknya. Ah,,,itu gambaran sekolah dasar tempo dulu mungkin.
Tidak di sini! Di sini aku adalah ibu. Ibu yang wajib membanjiri kasih sayang pada putra-putrinya. Ibu yang akan dikenang sepanjang sejarah. Ibu yang rela memberikan apa yang dimiliki, untuk putra-putrinya. Ibu yang mau membagi waktu, tenga dan pikirannya untuk putra-putrinya. Ibu yang bisa membangun peradaban dengan batu bata kokoh agar tak ambruk oleh masa. Ibu, ibu dan ibu, yang, yang, yang. Ibu yang tak terhingga untuk putra-putrinya.
Perlahan cinta itu bersemi. Tanpa diajari. Tanpa diberitahu. Cinta mengalir pada jiwa yang akan menemukan tambatannya. Memang, belum kuyakin rasa ini adalah cinta. Namun aku menikmatinya. Dan aku mensyukuri ini sebagai anugrah!
Tak berasa enam bulan aku di dini, semoga makin cinta. Kusambut, saat kau menyapa, cinta! ;)
20 Januari 2013 pukul 08.32
Suka