twitter
rss

Pernah dengar Potamopyrgus Antipodarum?
Itu bukan nama planet, bukan nama bintang, bukan jenis manusia purba, juga bukan makanan, he.Potamopyrgus Antipodarum atau dikenal juga sebagai Potamopyrgus Jenkinsi, adalah satu jenis siput yang hidup di New Zaeland. Siput ini unik, karena dapat berkembang biak dengan dua cara. Yang pertama dengan cara hubungan suami istri. Eh, kayak manusia aja. Maksud saya dengan cara sexual. Dan yang kedua tanpa perlu pasangan atau asexual. Dengan cara kedua ini, si siput Potamopyrgus Antipodarum dapat mengkloning dirinya sendiri.
Kita tidak akan berpanjang-panjang membahas mengenai si siput yang unik itu. Biarlah itu menjadi kajian biologi saja. Karena kali ini kita akan perbincangkan tentang pendidikan asexual. Jangan salah dulu, kita juga tak akan berbincang tentang seks, kecuali seksnya si siput tadi. Bukan. Bukan ingin memperbincangkan tentang bagaimana kita dapat berkembangbiak tanpa pasangan, sebagaimana Maryam melahirkan Isa tanpa ayah. Itu mustahil kan?
Nah, kita akan berbincang tentang model pendidikan. Apa kaitannya dengan siput? Apa kaitannya denganasexsual? Ada kok. Model pendidikan sebenarnya dapat dibagi menjadi dua; pendidikan asexsual dan pendidikan sexual. Ini analogi menurut Sabrang. Engkau kenal Sabrang? Ah, sepertinya tidak ya? Baiklah, kalau engkau penikmat musik, Sabrang itu lebih dikenal dengan si Noe. Vokalisnya Letto itu loh...
Lalu apa maksudnya pendidikan asexsual dan pendidikan sexual? Kita kembali dulu ke biologi. Dalam perkembangbiakan asexual, berarti sang ibu menurunkan Gen-nya seratus persen kepada anaknya. Jadi si anak merupakan fotokopian ibunya. Dia mewarisi segala sifat ibunya. Sedang dalam perkembangbiakanasexual, tentu anak akan mewarisi gen dari ibu dan bapaknya. Sifat-sifatnya tak akan persis sama dengan ibunya ataupun sama persis dengan bapaknya, melainkan campuran dari keduanya. Mungkin juga muncul sifat baru yang sama sekali berbeda.
Dengan demikian perkembangbiakan asexual dapat juga disebut model reproduksi. Sedang perkembangbiakan sexual dapat disebut model produksi. Hemm..., masih belum nyambung dengan pendidikan ya? Oke, pendidikan, esensinya adalah proses transfer informasi seperti dalam perkembangbiakan makhluk hidup yang mentransfer informasi genetika. Bedanya yang ditransfer adalah ilmu pengetahuan, bukan gen.
Masih menurut Sabrang, model reproduksi (asexual) bila digunakan dalam sistem pendidikan, sangat sesuai dengan bidang kajian ilmu-ilmu eksak seperti matematika, fisika atau kimia. Sebab ilmu-ilmu eksak sangat membutuhkan temuan-temuan terdahulu untuk mendukung kajian-kajian selanjutnya.
Sedang model produksi (sexual) akan cocok untuk kajian-kajian sosial dan kemanusiaan, seperti sosiologi, ilmu politik, psikologi dan sebagainya. Sebab ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian terus-menerus dengan perubahan lingkungan, gaya hidup dab sebagainya. Sangat mungkin teori-teori yang telah berkembang gugur oleh penemuan baru. Maka model sexual insya Allah ini mampu melahirkan cara berpikir kritis dan analitis.
Sayangnya, pendidikan di negeri ini sepertinya lebih fokus pada model pertama, model produksi atausexual. Guru mentransfer penuh ilmunya kepada murid-muridnya. Guru kurang mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis dan analitis. Dalam ujian misalnya, murid diberikan soal-soal yang jawabannya pasti. Malam umumnya tinggal memilih salah satu di antara poin a, b, c atau d. Terkadang kata-kata yang digunakan pun persis seperti yang ada di buku.
Nah, model ini dapat menghasilkan orang-orang pintar yang mampu menjuarai olimpiade matematika atauscience. Tapi sekali lagi, kurang mendukung cara berpikir kritis dan analitis. Padahal hal itu sama pentingnya dengan menjadi pintar.
Mungkin memang semenjak dulu kala, pendidikan di negeri ini lebih fokus pada model reproduksi (asexual). Terbukti dalam pendirian berbagai macam organisasi di Indonesia, dari organisasi massa sampai partai politik, kebanyakan mengopi Barat. Kali ini menurut bapaknya si Sabrang, alias Emha Ainun Nadjib. Menurutnya, bahkan pendirian negara ini juga mengopi Barat. KUHP-nya fotokopian, undang-undangnya fotokopian, peraturannya fotokopian, dan seterusnya. Semua mengopi dari Barat.
Maka, model pendidikan reproduksi (asexual) tentu harus diimbangi dengan model pendidikan produkse (sexsual). Untuk model kedua ini, Emha mengkiyaskan dengan satu istilah dalam ilmu fiqih, yaitu ijtihad. Dalam Ensiklopedia Islam, istihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istimbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam ijtihad ini seorang ulama atau penuntut ilmu memerlukan pemikiran mendalam, pertimbangan yang adil dan matang serta referensi yang kaya, tak hanya memadai tapi juga harus kuat untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Jadi tak sekedar mengopi ilmu yang sudah ada.
Nah, bagaimana kita mengembangkan model pendidikan reproduksi, sexual atau ijtihad ini di lingkungan sekolah? Sekali lagi menjadi PR yang terus menerus mesti kita garap. Wallahu a’lam bi shawab. Semoga ada manfaatnya. Silahkan di-share bila engkau merasa artikel ini bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar