twitter
rss


Posted by Irma Omalia Rahman Aziz on Tuesday, 24 May 2011

Ibarat sebuah piano tua. Piano tua tersebut akan dilelang. Awalnya, piano tua tersebut dibuka dengan harga lelang sebesar sepuluh juta. Dengan harga tersebut, ternyata tidak ada yang merespon. Kemudian, penawaran diturunkan menjadi sembilan juta, tetapi masih tidak ada yang merespon. Harga pun kembali diturunkan sampai akhirnya menjadi satu juta saja. Ternyata, tetap tidak ada yang mau membelinya.

Datanglah seorang kakek tua. Dia mengambil sebuah sapu tangan kemudian mengusap debu-debu yang ada pada piano tua tersebut. Kakek tersebut memainkannya dengan indah dan menakjubkan. Pengunjung yang ada di sana pun tersentuh dengan lagu tersebut. Beberapa saat setelah piano tua tersebut dibersihkan dan dimainkan oleh kakek tua tersebut, ternyata harga lelang piano naik menjadi lima puluh juta. Banyak pengunjung yang berebut ingin mendapatkannya. Akhirnya, terjualah piano tersebut dari harga 1 juta menjadi 2 milyar.

Siapakah piano tua dan kakek tua tersebut?

Piano tersebut ibarat anak-anak kita. Anak didik kita ketika belum disentuh oleh para guru dan orang tua. Namun, ketika telah disentuh oleh pendidikan dengan bimbingan, kesabaran, kasih sayang, maka anak tadi akan berharga tinggi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya diperlukan cara agar kita dapat belajar bagaimana menjadi seperti pemain piano tadi.


Mengambil kutipan dari salah seorang Guru Besar Matematika ITB, Maman Jauhari, bahwa bangsa ini akan maju jika pendidikannya maju. Pendidikan akan maju jika sekolahnya maju. Sekolah akan maju jika memiliki guru yang maju. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, diharapkan guru-guru di Indonesia maju agar bangsa menjadi maju.

Bagaimana menjadi guru yang maju?

Hal tersebut dibahas dalam seminar pendidikan nasional yang berjudul “ Menjadi Guru Kreatif Membangun Generasi Inovatif” pada Sabtu (7/5) di GSG Masjid Salman ITB yang diselenggarakan oleh Klab Guru Kreatif dan LPP Salman ITB.

Acara tersebut dihadiri lebih dari 210 peserta yang terdiri atas guru-guru mulai dari guru PAUD sampai guru SMA. Tak sedikit juga mahasiswa dan orang tua mengikuti acara tersebut. Acara dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei tersebut, memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan dapat memberi manfaat bagi dunia pendidikan.

Hadir sebagi pembahas, Agus Moeliono, pendiri dan pengelola TK Kuntum Mekar dan SD Kuntum Cemerlang, dan Dik Doank selaku pendiri & pengelola sekolah alam Kandank Jurank Doank dan pekerja seni.

Agus Moeliono mengungkapkan, untuk menjadi guru yang maju, tentunya guru harus kreatif dan inovatif. Tetapi, sebelum menjadi kreatif guru haruslah memiliki kepekaan. Kepekaan berarti mampu iqra (membaca) dan mengajar dengan hati, kemudian memiliki jiwa kreatif yang pada akhirnya mampu membuat terobosan. “Semakin kita mencintai anak, semakin besar kesanggupan kita untuk melayani anak kita, karena demikianlah kerja kasih yang utuh. Prinsipnya, hearts boanding and high learning”, ungkap beliau.

Sejalan dengan Agus Moeliono, Dik Doank pun memberikan sudut pandangnya mengenai guru dan pendidikan. Mengajar haruslah dengan hati dan punya kedekatan dengan Tuhan. Maka, dalam memberikan sudut pandangnya, Dik Doank banyak membahas tentang Asmaul Husna yang dikupas secara cemerlang.

Pertama dimulai dengan Iqra. Dik Doank menjelaskan bahwa dahulu Rasul pun menerima wahyu dengan ayat pertama adalah surat Al ’Alaq, “Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan”.Bacalah. Membaca bukan berarti hanya membaca kata-kata, tetapi membaca mulai dari yang terdekat. Seperti halnya Rasul, meskipun beliau tidak pandai membaca dan menulis tapi beliau membaca mulai dari yang terdekat, yakni tangannya. Kemudian membaca lingkungan. Namun saat ini, pria bernama asli Raden Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denada Kusuma ini mengungkapkan bahwa banyak yang membaca bukan dengan Dia, tetapi hanya dengan buku dan guru. “Padahal itu tidaklah cukup.” ujarnya.

Mengenai urutan dalam pendidikan, bapak tiga anak ini mengungkapkan bahwa hal yang pertama adalah membaca, setelah itu menggambar. Misalnya, nama Allah dalam Asmaul Husna urutan 11 adalah Al Khaliq, Yang Maha Pencipta, yakni Maha Kreatif. Menurutnya, seharusnya dalam belajar setelah membaca alam adalah belajar mencipta. Tetapi sayangnya, di SD saat ini lebih menekankan pada mata pelajaran menghitung seperti matematika, yakni 6 mata pelajaran. Jika kembali ke Asmaul Husna, matematika pun memang termasuk nama Allah yakni nama Allah dalam urutan ke 40 yakni Al Hasiib, Yang Maha Menghitung. “Tapi mana dulu, gambar dulu (mencipta) atau menghitung dulu?” tanya beliau.

Namun ironisnya, di Indonesia tidak menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang mencipta, bangsa penemu, tetapi penjiplak dan peniru. Oleh karena itu, saat ini orang Islam tidak lagi banyak yang menciptakan temuan-temuan. Padahal temuan yang ada di muka bumi diawali dengan menggambar terlebih dahulu, kemudian dihitung secara matematis. Dalam menciptakan pesawat terbang pun misalnya, digambar terlebih dahulu. Kemudian gedung-gedung, jika tanpa gambar maka tidak akan terbangun. Mengenai makna menggambar dalam Islam, Dik Doank memegang pendapat bahwa menggambar itu tidaklah dosa, kecuali jika dijadikan berhala.

Adapun dalam hal ilmu, Dik Doank memaparkan bahwa Ilmu itu ada dua, ibarat ilmu bulan dan ilmu matahari. Ilmu bulan memiliki makna kesombongan. Ilmu ini seolah-olah membuat kita bercahaya, padahal hanya mendapat pantulan. Sedangkan ilmu matahari sifatnya adil. Ia mampu terbuka dan memancarkan cahaya kepada siapapun.

Untuk menjadi guru yang kreatif dan inovatif, Dik Doank menegaskan untuk mampu iqra (membaca), mencipta, kemudian menghitung, baik itu bagi guru atau pun siswa. Kemudian melakukannya dengan hati dan ilmu matahari. Selain itu, guru haruslah terbuka, karena ilmu itu adalah nur. Nur itu tersimpan di kalbu. Jika ilmu itu hanya di otak saja, banyak guru-guru yang bisa menerangkan dengan buku-buku kepada anaknya dengan baik tetapi belum tentu guru-guru tersebut mampu menyuplai anak-anaknya untuk berbuat baik. “Nanti semua ilmu itu masuk ke dalam kalbu. Setelah masuk dan terpilah-pilah, jika kita mengatakan kebenaran, begitu kita salurkan ke anak didik kita, maka anak itu akan mendapatkan energi.”

*http://salmanitb.com

0 komentar:

Posting Komentar