Surahman, SEI
Membuat peserta didik tertawa, itu mudah saja kulakukan. Membuat
anak-anak menangis dalam muhasabah, insya Allah aku juga bisa. Akan tetapi
satu hal yang aku merasa kewalahan, mengatasi anak ngambek.
Pernah suatu ketika ada anak baru, pindahan dari sekolah
lain yang ngambek. Dia bentrok dengan
teman-temannya. Dia tinggalkan sekolah, pergi ke tengah sawah. Semakin dikejar
semakin menjauh. Kukejar pula dia. Akhirnya mentok, dia kepojok. Pada ujung
persawahan ada tembok tinggi. Sebelah utara tembok SLB dan sebelah barat tembok
SMA. Merasa tak ada jalan untuk lari, anak itu terduduk.
Kudekati dia, tetap duduk. Aku pun duduk di sampingnya. Seribu rayuan kuberi, agar dia mau kembali. Seribu
argumen kuungkap pula, tapi dia tak peduli. Tak bergeming. Beberapa waktu
lamanya, kami duduk berdua, di pinggir sawah, mojok mepet tembok..
Aku hampir dibuatnya jengkel. Sedikit demi sedikit
mulai keluar dari mulutku kalimat-kalimat ancaman. Tapi sama saja, tak mempan.
Aku menyerah.
Karena kami tak kembali-kembali, ibu kepala sekolah
menyusul. Sampai di tempat, ibu kepala sekolah langsung mendekap anak itu. Dengan bahasa kasihnya, ibu kepala sekolah
mengajak anak itu berdiri. Lalu mengajak
sama-sama menarik nafas panjang sambil mengangkat kedua tangan. Lalu dengan
beberapa nasihat saja, anak itu sudah mau diajak kembali ke sekolahan.
Ah, aku kalah telak. Padahal aku sudah pula berusaha
menjadi sahabat, menepuk pundaknya sesekali. Hanya saja aku tak langsung
mendekapnya. Dan bahasa kasih seorang guru laki-laki terhadap murid laki-laki
mungkin beda dengan bahasa kasih ibu guru terhadap murid laki-laki.
Setidaknya aku mendapat pelajaran; Sentuhlah dia, tepat
di hatinya....
Kini aku juga yakin, bahwa ciuman, dekapan dan sentuhan
adalah di antara cara yang efektif untuk mengungkapkan cinta dan kasih sayang.
Bukan hanya terhadap istri atau suami saja tentu. Terhadap anak, sahabat,
bahkan anak didik di sekolah, kita juga dapat melakukan hal serupa. Sentuhan
fisik sangat membantu dalam membangun kedekatan psikologis, kedekatan hati.
Sejak saat itu aku
belajar untuk lebih mengedepankan sentuhan-sentuhan dengan bahasa qalbu dalam berinteraksi dengan
anak-anak didikku. Ketika ada anak bermasalah, seperti marah atau bahkan
mengamuk, aku coba dulu untuk mengerti perasaannya. Mencoba menemiskan emosi
yang kadang ikut tersulut.
Satu hal sangat berkesan bagiku. Beberapa pekan lalu, ketika mengajar TIK kelas enam, mengajari mereka
membuat email, tiba-tiba jaringan error,
tak bisa online. Maka saya ajak
mereka kembali ke kelas. Waktu masih cukup lama dan terpikir olehku untuk
memberikan sesuatu di luar mata pelajaran. Saya duduk di depan, lalu bertanya:
“Pak Rahman pengen mengajak kalian bicara serius. Bolehkah?”
Senang sekali melihat antusisme mereka. Kebetulan waktu
itu hujan cukup deras. Salah seorang anak memberi usul; “Di bawah saja Pak,
tidak terdengar.” Maka kami sama-sama bangkit dari kursi, lalu duduk melingkar
saling berdampingan, lesehan di kelas.
Sesuatu yang berat hendak kusampaikan. Kutahu di kelas
itu masih ada masalah, ada yang tak akur. Seorang anak perempuan tersisih dari
teman-temannya. Satu anak ini tak pernah diajak bermain dan berbicara oleh
teman-temannya. Paling disindir-sindir dan dijelek-jelekkan. Ini masalah paling
serius. Sudah beberapa bulan masalah ini belum juga usai. Malah sempat
terbawa-bawa sampai orang tua.
Sangat sensitif. Maka aku harus menyampaikan dengan
ekstra hati-hati. Benar-benar menggunakan bahasa qalbu. Aku sampaikan bahwa hal
ini memang tidak enak untuk dibicarakan, tapi sesekali memang harus
dibicarakan. Mereka pun mendengarkan dengan seksama. Intinya, aku hanya
menyampaikan harapan, bahwa sebelum lulus, masalah di antara mereka sudah cair.
Aku minta mereka untuk jujur pada diri, bahwa semua ingin persahabatan di
antara mereka kembali seperti semula. Mereka pun mengakui, mengiyakan. Kulihat
salah seroang anak yang paling clash
dengan si anak tersisih berkaca-kaca.
Entahlah. Apa akan ada perubahan setelah apa yang
kusampaikan. Semoga saja demikian. Setidaknya aku telah tunjukkan, bahwa salah
seorang pak guru peduli dengan permasalahan yang mereka hadapi.
Bahasa Qalbu. Sesungguhnya anak-anak kita, walau masih
SD, mereka sudah bisa diajak untuk berpikir dewasa. Maka, sentuhan-sentuhan
qalbu insya Allah akan lebih membekas
pada jiwa mereka. Apa lagi dibanding dengan nasihat-nasihat yang disampaikan
dengan amarah.
Mungkin karena masih jernih, hati mereka pun mudah
disentuh. Dalam sebuah forum bersama anak-anak didikku, pernah kunyanyikan
sebuah lagu. Salah seorang di antaranya ternyata menangis, beberapa berkaca dan
yang lainnya mendengar penuh seksama. Malah, yang menangis itu adalah anak
laki-laki. Tak terduga. Ternyata, sebuah lagu saja dapat membuat hati mereka
tersentuh bila dilantunkan dengan menjiwa.
Maka, kepada seluruh guru di mana saja, aku ingin
mengajak, mari berbagi dengan anak-anak didik kita menggunakan bahasa qalbu.
Sesekali kita ajak anak didik kita bicara serius tentang hidup mereka. Insya Allah hal ini akan lebih berarti
dari teori-teori yang kita sampaikan dalam kelas. Mudah-mudahan, apa yang kita
sampaikan juga akan lebih bernilai dalam pandangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Senang sekali rasanya, hari ini, kulihat anak perempuan
yang sempat dikucilkan itu telah
bermain-main lagi dengan teman-temannya. Hubungan mereka mungkin belum
sepenuhnya pulih, setidaknya telah banyak kemajuan. Anak-anak lain di kelasnya
sudah bersedia mengajaknya bicara dan bermain bersama. Entah, apakah satu hal
yang kulakukan dulu memberi sumbangsih terhadap perubahan ini atau tidak.
Bagaimana pun aku senang melihat mereka akur kembali. Wallahu a’lam.