twitter
rss

Silahkan di Klik untuk informasinya...
1. SMPIT DARUL FIKRI
2. Husnul Khotimah
3. Sekolah Alam Ar Ridho
4. SMPIT Abu Bakar
5. SMPIT Nur Hidayah
6. SMIT Bina Amal Semarang

Semoga bermanfaat...


By Munif Chatib



Pak Munif, anakku ‘gila; sama games, gimana cara menghentikannya?”

“Pak Munif, anakku bilang: ‘TV is my life!”

     Betapa banyak kegalauan orangtua melihat anak-anaknya tersihir oleh games dan TV. Ketika saya tes ke teman-teman saya yang rata-rata berumur 40-an, untuk main games bola dengan play station, ternyata mereka yang sudah jadi orangtua juga tersihir oleh games bola tersebut. Sampai-sampai lupa makan malam, lupa kalau di rumah ada sang isteri dan anak yang menunggu. Berarti boleh dong saya pakai judul artikel di atas: MENGAPA ANAK DAN ORANGTUA ITU ‘GILA’ GAMES DAN TV?

      Jawabnya ternyata sederhana, yaitu ternyata TV dan GAMES itu mempunyai modalitas tertinggi yang disukai oleh otak kita. Dengan kata lain wajar, banyak orangtua dan anak yang suka games. Lalu apa yan gsimaksud dengan modalitas otak itu?

    Secara sederhana modalitas itu adalah jalan informasi masuk ke otak kita. Ada beberapa teori yang menjelaskan modalitas ini, yang terkenal adalah teori dari Dr. Venon Magnesen dari Texas Universitas. Ternyata hasilnya jalannya informasi yang masuk ke otak mempunyai kualitas yang berbeda-beda dalam hal penyerapan informasinya.

Jika informasi didapat dengan cara MEMBACA, mempunyai kualitas ingatan hanya 20%.
Jika dengan MENDENGAR, kualitas ingatannya 30%.
Jika dengan MELIHAT, kualitas ingatannya 40%.
Jika dengan MENGUCAPKAN, kualitas ingatannya 50%.
Jika dengan MELAKUKAN, kualitas ingatannya menjadi 60%.
Jika dilakukan dengan meLIHAT, MENGUCAPKAN, MENDENGAR, dan MELAKUKAN, kualitasnya sampai 90%.
     Bobbi de Porter dalam bukunya Quantum Teaching, juga membahas modalitas ini dengan istilah VAK, Vidual, Audio dan Kinestetis. Hasilnya sama, modalitas tertinggi itu adalah kinestetis atau dengan melakukan. Sekarang perhatikan makhluk yang bernama TV atau GAMES. Ternyata dua makhluk ini menggunakan modalitas tertinggi dengan kualitas terbaik. TV dan GAMES adalah media visual yang bergerak, jika ada audionya, dahsyat. Suara bom yang menggetarkan jantung. Lengkingan tangisan dan lain-lain. Visual tersebut tidak diam, namun bergerak. Apalagi jika menggunakan tiga dimensi. Wow pasti lebih heboh. Kita diajak ikut serta, baik fisik maupun emosi. Pasti kita merasakan tak puas, perasaan kalah jika memang kalah dalam bermain GAMES. Ada emosi terpantik di dalamnya. Dan itu semua sangat disukai oleh otak kita dan anak kita. Ibarat jalan tol, TV dan GAMES menyuguhkan informasi dengan menggunakan jalan tol yang paling lancar, cepat, tidak macet untuk sampai ke otak kita.

     Nah itulah penyebab mengapa kita dan anak-anak sering tersihir oleh TV dan GAMES. Memang hal yang wajar, sebab otak kita menyukai apa yang disuguhkan oleh dua makhluk itu. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tiba-tiba TV, GAMES dan MEDIA yang lain membawa dampak negatif dalam kehidupan anak-anak kita. Hal itulah yang harus diteliti dengan fokus dan dicarikan jalan keluarnya. Minimal dengan pemahaman kita tentang modalitas, kita sebagai orangtua dan guru sekarang mengetahui jika informasi disampaikan dengan audio, percayalah informasi tersebut lama sekali sampai ke otak kita dan anak kita. Jadi yang harus dibudayakan adalah mengajak ikut serta anak dalam memahami apapun dengan ‘DO IT’, atau ‘LAKUKAN SAJA’. Kita harus mengalahkan kekuatan modalitas pada GAMES dan TV. Semoga bermanfaat.
* http://munifchatib.wordpress.com


By Siti Untari

”Jangan takut nada Bu, yang penting nyanyi aja, anak kecil mana tahu suara fals apa nggak, yang penting enjoy, asik, anak gembira….” Demikian Waka Kesiswaan menyemangatiku kala itu. “Pasti bisalah, saya yakin njenengan pasti bisa!”  Ujarnya memantapkanku.

Aku makin melongo. Bukan masalah nada bu. Suaraku yang kurang bagus alias cempreng rombeng itu fakta, tapi perkaranya tak sesederhana itu. Bahkan syair lagunyapun aku tak hafal. Gak tahu, mau nyanyi lagu apa nanti? Kalau gak sedang khilaf juga aku nggak pernah nyanyi je.

Ini salah satu keterkejutanku yang pertama. Jadi agak ciut, berarti mau atau tidak aku harus maksain diri buat nyanyi yah? Cari lagu anak-anak. Minta dicontohi. Coba praktek.

Begitulah, cinta yang mampu jadikan pengucut sebagai pemberani. Si bakhil jadi penderma. Si bodoh jadi pintar. Menajamkan pena penulis. Menguatkan yang lemah.  Mencerdaskan juga mendatangkan kegembiraan pada jiwa dan perasaan si pencita. Yang ini pernah kubaca dari tulisan seorang ustadz asal Kota Gudeg sana.

Loh kok? (ups!) Santai kawan, meski kata cinta sangat dekat dengan orientasi tanda tanya, bukan masalah itu yang hendak kita bahas di sini. Adalah dua kutub yang berbeda jika ingin menterjemahkannya.

Maka ijinkan aku bicara soal cinta. Perkara terelok sepanjang masa. Namun tidak, bukan cinta ala remaja yan enteng menyatakan I love you, love you too. Semoga engkau tak jadi enggan membacanya.

Aku hanya ingin mengajakmu berbagi. Tentang bongkahan rasa yang menyumbat di dada. Jika untuk objek pelaku dapat menjadi (sepeti) objek sepenuhnya, mungkin itulah cinta.

Aku belajar menjadi seperti mereka. Sekali lagi ini perkara lain jika kau ingin membahas cinta yang berbeda. Ingat ceritaku yang lalu? Saat aku harus berbaur dengan remaja putih abu-abu serta keunikan-keunikan mereka? Maka aku melebur masuk ke dunia mereka.

Kini objekku calon mujahid-mujahidah yang baru meninggalkan masa balitanya. Masa peralihan. Tentu berbeda dari sebelumnya. Dan aku harus lebih dulu menjadi objek untuk memberikan contoh pada mereka bagaimana menjadi subjek, pelaku!

Aku shock, ketika salah satu dari mereka bilang tidak bisa bikin anggka delapan. Aku gondok ketika ada yang mogok tidak mau belajar. Aku pusing, melayani wali murid yang tak sepenuhnya sepakat. Aku bingung ketika salah satu dari mereka ngamuk tak pasti alasannya.

Bikin angka delapan nggak bisa nangis.  Nulis belum selesai nangis. Mau pipis malu ngomongnya, nangis sambil ngompol.  Tanpa sebab jelas nggak mau masuk kelas, nangis di halaman. Nggak suka menu makan siangnya nangis. Nggak cocok snack sekolah, ngomongnya sambil nangis. Tiadakah bahasa selain airmata, anak-anak?? Kenapa kalian buatku juga ingin dengan airmata-airmata itu?

 Tak disangkal, akupun membalasnya dengan airmata di masjid. Usai dzuhur berjamaah yang berurai airmata, aku mengadu padaNya. Allah,,,mungkinkah ini bukan saat yang tepat untukku? Aku begitu sesak, bisakah aku menanggung ini. Aku sungguh lemah Allah,,,aku, aku,,,,

Aku berbagi pada saudara-saudara di sini. Ternyata bukan hanya aku yang mengalami ini diawal-awal. Itu proses kawan, tahapan yang akan membuatmu bermetamorfosis. Langkah masih panjang dan terus berkelok. Ayuh kita melangkah bersama, beriring, bergandengan tangan (ups!)

Tak selesai pada perkara bagaimana aku bisa mengatasi airmata-airmata itu dengan senyuman. Setelah jiwa mulai terkontrol dengan perkara yang fitrah itu, masih harus kuhadapi aral berikut. Kasih sayang para wali, dengan tututan, protes, permitaan, pujian, sanjungan juga hal-hal lain adalah tahapan sepanjang masa yang akan mentarbiyahku.

Bahagia, menikmati, mensyukuri, karena dengan ini aku dapat melihat keMahaKuasaanNya. Hidup adalah pembuktiaan jajni taat kita padaNya. Akan kau buat apa hidupmu, kawan?

Dan cinta hanya kita yang mampu mengupayakannya, dengan cara apa? Ah, rasanya tak pantas jika aku yang menjawab ini semua. Mari kita temukan jawabannya pada relung-relung paling tersembunyi di hati.

Maka, kusambut engkau, cinta! ;)



By Siti Untari (Guru kelas 1 Zaid )

Ada yang datang tanpa diundang. Dia turut menorehkan warna. Menambah sebuah goresan di hati. Aneh! Aku tak tahu, kapan rasa itu mulai bersemi. Tiba-tiba kurasakan kuncupnya sudah bermekaran di balik dada. Kan kurawat rasa ini, kusiram dan kupupuk agar berbuah kelak. Biarlah tunas-tunas lain turut tumbuh nanti.

Telah bermekaran, mengalir keseluruh aliran darah pada tubuhku. Ini lain, tak seperti yang pernah kurasa sebelumnya. Meski mungkin ianya tetap bernama sama. Cinta! Ia tumbuh pada kelembabab masa. Iyah, lembab karena di sana dapat tumbuh segala rasa baru, menamabah perbendaharaan rasa yang  telah ada. Subur!

Bergaya sok-sok romantis, agresif, manja, egois, jutek juga afeksional. Begitu kira-kira, kata mereka. Saperti kata Ust. Salim A. Fillah pada “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan”.  Dulu, hampir setiap hari aku bergumul dengan remaja putih abu-abu. Lengkap dengan warna khas mereka. Merah mudanya masa itu tak akan lepas dari kata itu sendiri, remaja. Banyak hal menarik yang meski klasik namun tak lekang oleh waktu. Selalu menarik untuk diperbincangkan.

Banyak rasa yang membersamaiku kala itu. Aku pun turut melebur dalam dunia merah jambu di sana. Membersami merka dengan berbagai celoteh khasnya adalah anugrah indah. Pengalaman luar biasa yang tiada kata dapat melukiskannya.


Posted by Irma Omalia Rahman Aziz on Tuesday, 24 May 2011

Ibarat sebuah piano tua. Piano tua tersebut akan dilelang. Awalnya, piano tua tersebut dibuka dengan harga lelang sebesar sepuluh juta. Dengan harga tersebut, ternyata tidak ada yang merespon. Kemudian, penawaran diturunkan menjadi sembilan juta, tetapi masih tidak ada yang merespon. Harga pun kembali diturunkan sampai akhirnya menjadi satu juta saja. Ternyata, tetap tidak ada yang mau membelinya.

Datanglah seorang kakek tua. Dia mengambil sebuah sapu tangan kemudian mengusap debu-debu yang ada pada piano tua tersebut. Kakek tersebut memainkannya dengan indah dan menakjubkan. Pengunjung yang ada di sana pun tersentuh dengan lagu tersebut. Beberapa saat setelah piano tua tersebut dibersihkan dan dimainkan oleh kakek tua tersebut, ternyata harga lelang piano naik menjadi lima puluh juta. Banyak pengunjung yang berebut ingin mendapatkannya. Akhirnya, terjualah piano tersebut dari harga 1 juta menjadi 2 milyar.

Siapakah piano tua dan kakek tua tersebut?

Piano tersebut ibarat anak-anak kita. Anak didik kita ketika belum disentuh oleh para guru dan orang tua. Namun, ketika telah disentuh oleh pendidikan dengan bimbingan, kesabaran, kasih sayang, maka anak tadi akan berharga tinggi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya diperlukan cara agar kita dapat belajar bagaimana menjadi seperti pemain piano tadi.

Fantastis! Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional. Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.
Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, Exam Success (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:
Positive Frame of Mind“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang

By Fauzil Adhim


Baik,mari kita buka What Works in Schools: Translating Research into Action yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.


Lalu apa yang bisa kita petik dari What Works in Schools? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.

Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:
Sekolah. Faktor pertama yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukandrilling. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.
Kedua, tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif(challenging goals and effective feedback). Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.

Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.


By Munif Chatib

Sungguh bahagia rasanya, kala seorang sahabat memberikan ulasan terhadap teori multiple intelligence menurut sudut pandangnya. Jika boleh berbagi saya juga terangsang untuk mengulas tentang makhluk apakah multiple intelligences itu, yang diyakini mempunyai keberagamanan penafsiran banyak orang.

Paradigma multiple intelligences itu harus dibuktikan dengan fakta, bukan dengan teori.
Ketika Gardner tahun 1983 di Harvard University memunculkan teori mi, banyak pakar kecerdasan membantahnya. Sahabat saya mencoba membuat list tentang para pakar yang tidak setuju dengan teori mi ini. Ada Ken Richardson yang bilang kalau keunggulan manusia itu memang sudah ada dari ‘sononya’. Ada Francine Smolucha yang bilang Gardner dan Mi-mnya kurang data. Ada Goerge Miller yang bilang mi tidak memiliki ‘evidence’ yang kuat dan pemborosan waktu. Sahabat saya sendiri bilang MI itu  istilah kebetulan saja pengganti istilah ‘talent’, dan tidak di dukung bukti yang kuat. Dan seterusnya dan seterusnya.

Menurut saya, MI adalah sebuat teori kecerdasan yang sangat terbuka dan menghargai potensi individu sekecil apapun. Seseorang mempunyai MI jika dalam aktivitasnya sudah memunculkan prestasi yang mempuyai benefit (daya manfaat), sekecil apapun itu. Saya pikir teori ini sangat menghargai manusia sebagai ciptaan Sang Maha Agung. Allah SWT tidak pernah memproduksi produk-produk gagal. Malah saya mendapat banyak bukti sebagai fakta, banyak anak yang mempunyai hambatan, ketika MI-nya di hargai dan terus dipantik, maka anak itu menjadi JUARA di bidangnya masing-masing.

Saya berusaha memunculkan bukti-bukti ini dalam buku saya yang ke-3 ORANGTUANYA MANUSIA, semoga sahabat saya membaca buku ini. Walhasil kalau teori di lawan dengan teori tidak akan ada habisnya. Paradigma baru harus menghadirkan fakta. Saya dan banyak orang yang mempunyai fakta, bahwa setiap manusia mempunyai keunggulan. Dalam perspektif saya, itulah teori MI. Jika kita tidak percaya setiap orang mempunyai keunggulan, meskipun sekecil debu, wow ini bahaya, sebab kita akan banyak masuk dalam jebakan-jebakan semu dalam arti selalu memandang rendah orang sebab tidak memiliki kemampuan. Padahal kemampuan itu ada, hanya belum terlihat saja.

Pernah dengar Potamopyrgus Antipodarum?
Itu bukan nama planet, bukan nama bintang, bukan jenis manusia purba, juga bukan makanan, he.Potamopyrgus Antipodarum atau dikenal juga sebagai Potamopyrgus Jenkinsi, adalah satu jenis siput yang hidup di New Zaeland. Siput ini unik, karena dapat berkembang biak dengan dua cara. Yang pertama dengan cara hubungan suami istri. Eh, kayak manusia aja. Maksud saya dengan cara sexual. Dan yang kedua tanpa perlu pasangan atau asexual. Dengan cara kedua ini, si siput Potamopyrgus Antipodarum dapat mengkloning dirinya sendiri.
Kita tidak akan berpanjang-panjang membahas mengenai si siput yang unik itu. Biarlah itu menjadi kajian biologi saja. Karena kali ini kita akan perbincangkan tentang pendidikan asexual. Jangan salah dulu, kita juga tak akan berbincang tentang seks, kecuali seksnya si siput tadi. Bukan. Bukan ingin memperbincangkan tentang bagaimana kita dapat berkembangbiak tanpa pasangan, sebagaimana Maryam melahirkan Isa tanpa ayah. Itu mustahil kan?
Nah, kita akan berbincang tentang model pendidikan. Apa kaitannya dengan siput? Apa kaitannya denganasexsual? Ada kok. Model pendidikan sebenarnya dapat dibagi menjadi dua; pendidikan asexsual dan pendidikan sexual. Ini analogi menurut Sabrang. Engkau kenal Sabrang? Ah, sepertinya tidak ya? Baiklah, kalau engkau penikmat musik, Sabrang itu lebih dikenal dengan si Noe. Vokalisnya Letto itu loh...
Lalu apa maksudnya pendidikan asexsual dan pendidikan sexual? Kita kembali dulu ke biologi. Dalam perkembangbiakan asexual, berarti sang ibu menurunkan Gen-nya seratus persen kepada anaknya. Jadi si anak merupakan fotokopian ibunya. Dia mewarisi segala sifat ibunya. Sedang dalam perkembangbiakanasexual, tentu anak akan mewarisi gen dari ibu dan bapaknya. Sifat-sifatnya tak akan persis sama dengan ibunya ataupun sama persis dengan bapaknya, melainkan campuran dari keduanya. Mungkin juga muncul sifat baru yang sama sekali berbeda.
Dengan demikian perkembangbiakan asexual dapat juga disebut model reproduksi. Sedang perkembangbiakan sexual dapat disebut model produksi. Hemm..., masih belum nyambung dengan pendidikan ya? Oke, pendidikan, esensinya adalah proses transfer informasi seperti dalam perkembangbiakan makhluk hidup yang mentransfer informasi genetika. Bedanya yang ditransfer adalah ilmu pengetahuan, bukan gen.
Masih menurut Sabrang, model reproduksi (asexual) bila digunakan dalam sistem pendidikan, sangat sesuai dengan bidang kajian ilmu-ilmu eksak seperti matematika, fisika atau kimia. Sebab ilmu-ilmu eksak sangat membutuhkan temuan-temuan terdahulu untuk mendukung kajian-kajian selanjutnya.
Sedang model produksi (sexual) akan cocok untuk kajian-kajian sosial dan kemanusiaan, seperti sosiologi, ilmu politik, psikologi dan sebagainya. Sebab ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian terus-menerus dengan perubahan lingkungan, gaya hidup dab sebagainya. Sangat mungkin teori-teori yang telah berkembang gugur oleh penemuan baru. Maka model sexual insya Allah ini mampu melahirkan cara berpikir kritis dan analitis.
Sayangnya, pendidikan di negeri ini sepertinya lebih fokus pada model pertama, model produksi atausexual. Guru mentransfer penuh ilmunya kepada murid-muridnya. Guru kurang mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis dan analitis. Dalam ujian misalnya, murid diberikan soal-soal yang jawabannya pasti. Malam umumnya tinggal memilih salah satu di antara poin a, b, c atau d. Terkadang kata-kata yang digunakan pun persis seperti yang ada di buku.
Nah, model ini dapat menghasilkan orang-orang pintar yang mampu menjuarai olimpiade matematika atauscience. Tapi sekali lagi, kurang mendukung cara berpikir kritis dan analitis. Padahal hal itu sama pentingnya dengan menjadi pintar.
Mungkin memang semenjak dulu kala, pendidikan di negeri ini lebih fokus pada model reproduksi (asexual). Terbukti dalam pendirian berbagai macam organisasi di Indonesia, dari organisasi massa sampai partai politik, kebanyakan mengopi Barat. Kali ini menurut bapaknya si Sabrang, alias Emha Ainun Nadjib. Menurutnya, bahkan pendirian negara ini juga mengopi Barat. KUHP-nya fotokopian, undang-undangnya fotokopian, peraturannya fotokopian, dan seterusnya. Semua mengopi dari Barat.
Maka, model pendidikan reproduksi (asexual) tentu harus diimbangi dengan model pendidikan produkse (sexsual). Untuk model kedua ini, Emha mengkiyaskan dengan satu istilah dalam ilmu fiqih, yaitu ijtihad. Dalam Ensiklopedia Islam, istihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istimbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam ijtihad ini seorang ulama atau penuntut ilmu memerlukan pemikiran mendalam, pertimbangan yang adil dan matang serta referensi yang kaya, tak hanya memadai tapi juga harus kuat untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Jadi tak sekedar mengopi ilmu yang sudah ada.
Nah, bagaimana kita mengembangkan model pendidikan reproduksi, sexual atau ijtihad ini di lingkungan sekolah? Sekali lagi menjadi PR yang terus menerus mesti kita garap. Wallahu a’lam bi shawab. Semoga ada manfaatnya. Silahkan di-share bila engkau merasa artikel ini bermanfaat.

     Engkau seorang guru? Bagaimana engkau mengajar di kelas? Apakah engkau yakin anak di kelas menyenangi cara mengajar yang engkau lakukan? Atau mungkin mereka sering merasa bosan, jenuh dan tak tertarik mengikuti pelajaran. Atau anak-anak itu justru seringkali ramai, mengobrol seenak mereka, lalu sebagian lagi melamun, sedang yang lainnya terkantuk-kantuk?
     Bagaimana kira-kira pendapat mereka tentangmu? Guru teladan, guru menyenangkan, guru gaul, guru mbosenin, guru killer, atau guru gak jelas?
     Iya, sebagai guru kita perlu menengok diri, apakah benar sudah menjadi guru yang patut diteladani dan menyenangkan bagi anak-anak didik kita. Atau justru mereka lebih banyak menangkap kesan negatif tentang kita. Bila menengok di sekolah-sekolah, di kelas-kelas, kita akan mendapati banyak guru yang mengajar sekedarnya saja, kalau tidak mau dibilang sekenanya. Monoton, membosankan bagi anak. Setiap masuk kelas begitu-begitu saja. Memberi salam, menjelaskan, memberikan soal, sudah. Dari hari ke hari tak ada hal baru. Materinya pelajarannya saja yang berganti-ganti sesuai silabus dan RPP yang dia copy, paste dan print. Tahun depan, ketika mengajar materi yang sama, dia mereka akan bawakan dengan gaya yang nyaris sama persis.



     Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.
     Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.
     Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:
     “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185) 
     Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.
     Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Dalam teori kurikulum (Anita Lie, 2012) keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum --termasuk pembelajaran-- dan penilaian pembelajaran dan kurikulum.
Struktur kurikulum dalam hal perumusan desain kurikulum, menjadi amat penting. Karena begitu struktur yang disiapkan tidak mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam kurikulum, maka bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran.
Pada titik inilah, maka penyampaian struktur kurikulum dalam uji publik ini menjadi penting. Tabel 1 menunjukkan dasar pemikiran perancangan struktur kurikulum SD, minimal ada sebelas item. Sementara dalam rancangan struktur kurikulum SD ada tiga alternatif yang di mesti kita berikan masukan

*http://www.kemdiknas.go.id